Thursday, July 03, 2014

Catatan Pemilu 3: Jurnalisme Engingengwadeziknguiknguik

“Every side attacks you when you don't take sides.” (Marty Rubin)

Rasanya getir ketika menulis judul tersebut. Ingin rasanya memilih menulis "Jurnalis engingengwadeziknguiknguik" untuk menunjukkan bahwa yang ingin saya kritik adalah jurnalisnya, bukan alam atau industri jurnalisme di Indonesia.

Namun, pilpres 2014 benar-benar menempatkan dunia jurnalistik di posisi terendahnya, absurditas (karena saya memang tak bisa memahami fenomena ini, sehingga saya bilang: absurd) terjadi di hampir semua media, dipertontonkan tokoh pers. Ada Kolumnis Wimar Witoelar dengan Gallery of Rogues-nya, ada Andreas Harsono yang menilai pelanggaran kode etik oleh jurnalis asing Allan Nairn itu wajar.

Baiklah.. Seorang kawan mengirim saya link berita ini, dan berbicara tentang: bredel! Intinya, timses Prabowo menyortir media mana saja yang boleh meliput pertemuan Prabowo dan Sultan. Beberapa media yang tidak boleh meliput adalah Kompas dan Tempo. Perdebatan terjadi di tempat acara itu, dan muncullah berita itu.

(Uniknya, di berita itu Tempo memberikan ilustrasi gambar demo menentang aksi 'kriminalisasi pers.' Saya harus sodorkan ini untuk menunjukkan ke Tempo bahwa ilustrasi itu lebih tepat dipakai untuk PDI-P, di mana mereka mengikut-ikutkan penegak hukum, yang jelas-jelas bentuk kriminalisasi.)

Mengomentari link dari kawan saya itu, saya bilang: "seandainya ada artis melarang wartawan meliput acara dia, apakah ini sebuah ancaman terhadap kebebasan pers?" Itu adalah pertanyaan provokatif, karena saya lalu mengundang teman seperjuangan saya itu untuk membaca tulisan (yang kemudian saya tulis) ini.

Apa yang kita lihat di situ adalah fenomena penyortiran media, oleh narasumber. Apakah penyortiran media yang dilakukan oleh penyelenggara acara itu (timses Prabowo) hal yang benar? Saya (yang saat ini memiliki preferensi ke Prabowo) menegaskan 'TIDAK BENAR'. Sama tidak benarnya dengan aksi vandalisme kantor dan ancaman kriminalisasi TVOne.

Namun, saya bisa memahami mengapa semua itu terjadi. Penyortiran dan penggerudukan media oleh dua kubu ini adalah puncak gunung es di tengah fenomena maraknya media membela (jika tak mau disebut partisan) salah satu kubu.

Di mana posisi anda (jurnalis) dan media anda? Silahkan anda tentukan. Saya yakin anda tahu betul. Yang pasti, membela salah satu kubu politik dalam pemberitaan dan kebijakan redaksi itu tidak benar, dan narasumber (di sisi lain) menyortir media juga tidak benar. Two wrongs don't simply make them right.

Fenomena ini seharusnya menjadi catatan penting bagi semua pelaku media (termasuk saya di dalamnya). Ketika kita membela salah satu kubu politik di kebijakan pemberitaan kita, apalagi namanya jika bukan partisan? Secara struktural, posisi media-media yang membela capres itu sama seperti media 'Obor' yang "fenomenal" itu.

Bedanya, media pembela partai itu baru partisan ketika pilpres (bertahun-tahun sebelumnya tidak), sedangkan Obor sudah partisan sejak baru lahir kemarin sore. Media pembela partai melakukan prosedur baku jurnalistik, sedangkan Obor melakukan prosedur busuk.

Dan satu lagi (terima kasih pada mas Firman yang mengingatkan ini); akuntabilitas. Media mainstream, dengan segala sikapnya, memiliki akuntabilitas dengan dicantumkannya nama-nama asli staf redaksi dan alamat yang benar. Sementara Obor tidak. (Obor mencantumkan alamat palsu, dan penanggung jawabnya baru muncul setelah terdesak).

Intinya, keduanya berbeda dalam hal cara bermain. Obor bermain kasar, media mainstream pembela capres bermain halus. Well, sebenarnya menurut saya kasar juga. Kelihatan banget framing-nya sampai masyarakat luas juga tahu.

Seorang rekan jurnalis di kantor saya, warga negara Inggris (yang seperti warga asing lain lebih menyukai Jokowi), berkomentar: "saya tadi ke bank, dan sembari menunggu antrian melihat tayangan Metro TV. isinya: Jokowi.. Jokowi.. Jokowi. That's not right."

Di era pilpres, publik secara umum sudah tahu media mana yang pro-Jokowi dan mana yang pro-Prabowo. Di pertelevisian, Metro TV &  Beritasatu adalah media pembela-Jokowi. Grup Viva dan Grup MNC adalah media pembela-Prabowo.

Jika kita merunut pada pengendali media, ada Jawa Pos (yang dikendalikan Dahlan Iskan, seorang pro-Jokowi), ada Tempo (yang pendirinya seperti Goenawan Muhammad pro-Jokowi). Di media online ada Inilah.com yang pro-Prabowo.

Di tengah fenomena demikian, masih relevankah kita bicara begini: "wartawan harus diberi akses seluas-luasnya untuk membuat berita, karena mereka bekerja untuk kepentingan publik bukan kepentingan golongan atau kelompok tertentu."

Maaf, tapi itu bukanlah anda sekarang ini. Masihkah anda, jurnalis, merasa mengemban tugas seperti di pasal 33 UU Pers No. 40/1999 tentang pelaksana kontrol sosial, atau penyambung lidah rakyat, penyeimbang kekuasaan, dan hal-hal heroik semacam itu? Padahal, anda menjunjung-junjung capres dalam pemberitaan anda, dan menyerang capres lain?

Saya, seperti warga negara Indonesia lainnya, tentu saja memiliki preferensi akan memilih siapa. Namun dalam pemberitaan ruang redaksi, haram bagi saya memasukkan unsur keberpihakan itu. Jurnalisme bukan agama saya, tapi bahkan agama saya yang muncul ratusan tahun sebelum jurnalisme modern muncul, telah memerintahkan saya berlaku adil bahkan kepada kelompok yang sedang saya benci.

Membela, atau Berpihak?

Di sini, saya pakai diksi 'membela', karena term ini lebih tepat disematkan untuk media nyaris-partisan seperti yang banyak kita lihat sekarang ini. Membela satu pihak umumnya diikuti dengan penyerangan terhadap pihak lain (the best defense is a good offense).

Bagaimana dengan istilah 'memihak', yang mengutip senior saya Mas Andreas Harsono boleh dilakukan asal independen? Kian ambigu. Seorang kawan, mantan jurnalis Tempo, menulis di blog; "Bitch, please!" sembari berargumen bahwa media cetak itu boleh berpihak, yang tak layak berpihak itu media televisi karena dia memakai frekuensi publik.

Dia seolah lupa, jurnalis adalah jurnalis. Tak peduli dia bekerja di media apa (TV, cetak, dll). Jika pembedaan itu dianggap boleh, kenapa tidak sekalian saja bilang: jurnalis cetak boleh terima amplop asalkan tetap independen, sedangkan jurnalis TV tak boleh (karena mereka memakai fasilitas publik).

Honey, please deh..

Ada kawan lain yang dengan heroik berkata: media itu berpihak pada kebenaran dan kepada publik. OK, pertanyaannya, Metro TV dan TVOne sekarang juga merasa memihak kebenaran (kebenaran versi kubu Jokowi dan kebenaran versi kubu Prabowo). Mereka juga merasa memihak pada publik (simpatisan Jokowi itu publik, dan simpatisan Prabowo publik juga).

Jadi publik yang mana? Kebenaran siapa?

Sikap saya (dari dulu, sampai sekarang), untuk urusan keberpihakan media ini tak berubah: jurnalis hanya berpihak pada disiplin reportase yang dia jalankan, bukan kepada yang lain. Ke mana data valid dan temuan di lapangan membawa simpulan saya atas sebuah persoalan yang saya liput, di situlah keberpihakan saya bermuara.

Asumsi pribadi, preferensi politik, atau identitas saya (agama, suku, ras, dll) memang melekat dan saya bawa sampai mati. Tapi, mereka harus tunduk pada temuan saya di lapangan. Jika ternyata saya menemukan fakta di lapangan bahwa ada oknum Muslim membantai Kristen dengan semena-mena, maka saya sebagai Muslim harus tunduk pada kenyataan ini dan mengangkat fakta apa adanya.

Ini sejalan dengan pembacaan saya terhadap buku 'Sembilan Elemen Jurnalisme'. Di pasal pertama tertulis: "Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran." Menurut saya, pencarian kebenaran hanya bisa dilakukan jika kita melepaskan diri dari semua asumsi dan kepentingan yang melekat dalam melihat persoalan. Di sinilah keberpihakan jurnalis seharusnya ditempatkan, pada disiplin verifikasi.

Jika seorang jurnalis sudah menempatkan pemihakan kebijakan redaksi untuk mendukung kubu Prabowo, misalnya, lalu bagaimana publik bisa berharap dia akan berdisiplin melakukan verifikasi ketika mendapat pernyataan dari timses Prabowo yang menyerang kubu Jokowi?

Demikian juga sebaliknya, bagaimana kita bisa berharap jurnalis yang menganggap 'pemihakannya kepada Jokowi dalam pemberitaan adalah hal wajar' akan mau disiplin verifikasi atau mengangkat berita valid yang menyerang kubu Jokowi apa adanya?

Tidak cukupkah kasus berita "Dubes Palestina dukung Jokowi" dan "Survei Gallup" itu menampar dunia profesi kita ini? Di mana verifikasi ternomorduakan, karena sudah terbius oleh nafsu partisan politik?

Yang sekarang lagi ramai, dan bikin saya semakin prihatin, praktisi jurnalisme kita menganggap seorang jurnalis asing, bernama Allan Nairne, BOLEH membuka wawancara "off the record" (dengan asumsi wawancara Allan dengan Prabowo itu memang ada).

Padahal dalam etika jurnalisme, kerahasiaan off the record itu harga mati, dan hanya bisa dibuka untuk keperluan pengadilan, bukan karena dugaan (seseorang akan membahayakan negara), apalagi hanya untuk ingin membalik perkataan alm. Gus Dur soal 'Prabowo itu sosok yang paling jujur'.

Belakangan, muncul pembenaran untuk itu. "Off the record boleh dibuka karena Indonesia dalam bahaya, akan dipimpin oleh seseorang yang [dalam KLAIM wawancara Allan] siap disebut sebagai diktator fasis."

OK, jadi intinya: dia, selaku warga Amerika tergerak perlu melanggar kode etik, karena Prabowo dalam KLAIMNYA (saya sebut klaim, karena belum ada bukti keberadaan transkrip wawancara itu) mengaku siap disebut diktator dan fasis.

Ringkasnya: "Prabowo itu bahaya untuk negara Indonesia karena dia capres dan "mengaku" siap disebut fasis. Karena itu, kode etik boleh saya (Allan Nairn] langgar."

Dus, berkaca pada argumen Alan itu, mari kita seluruh jurnalis di Indonesia bersama-sama melanggar kode etik jurnalistik kita, guna memastikan bahwa Prabowo kalah! Kenapa? Karena Prabowo ini bahaya untuk negara, dan itu cukup untuk memberi kita alasan melanggar kode etik jurnalistik.

Mmm... wait.. why it sounds like a campaigner?" *fishy.. fishy..

Dan rekan-rekan jurnalis percaya, ikut menyebarkan keterangan itu. Ada yang berdalih: Allan Nairn itu wartawan terkenal dan banyak penghargaannya, jadi dia pasti benar. Ini adalah bentuk argumentum ad auctoritatis. Argumen yang diajukan dan dianggap benar, hanya berdasarkan kewibawaan atau prestasi seseorang (Allan), bukan berdasarkan ada-tidaknya bukti dari klaim dia (si Allan).

Lalu Allan menagih siapapun yang tak percaya untuk membuktikan kalau dia salah. Ini kacau. Allan makbedunduk bilang pernah wawancara off the record Prabowo, mengklaim Prabowo bilang: engingengwadeziknguiknguik. Tapi, bukti (rekaman "off the record" itu) belum ada, dia nantang pihak lain membuktikan kesalahan dia.

Burden of proof dilempar ke pihak lain. Dalam logika, ini falasi argumentum ad ignorantiam:
A: saya tahun lalu ketemu Tuhan, Dia bilang bapakmu pembunuh
B: oh ya? mana buktinya?
A: kok ga percaya sih? ya udah ayo buktikan kalo aku salah!
B: (dalam hati: engingengwadeziknguiknguik)

Aneh kan? Lebih aneh lagi, kita percaya saja, bahkan memberi dia panggung lebih besar: memberitakannya di koran2 nasional, wawancara dia di TV, men-share itu ke mana-mana. Oh, I forgot he's award-winning journalist, so he must be right!


Sedih sekali saya melihat dunia jurnalistik kita seperti ini. Namun, setidaknya di kantor saya, kami berkomitmen untuk tidak merusak "kesucian" pemberitaan dengan aksi partisan yang menjijikkan, seperti yang dilakukan para jurnalis klandestin di luar sana. Semoga komitmen ini bisa terjaga.

Di Indonesia, tiga pilar demokrasi sudah marak dengan fraud dan korupsi akibat kepentingan sesaat & golongan. Kini pilihan di tangan jurnalis. Akankah kita membuat pilar demokrasi keempat ini, yakni jurnalisme, tergerogoti kepentingan sesaat Pilpres dan kepentingan golongan dengan aksi partisan kita?

Masih tidak bisakah anda menangkap pesan di balik aksi sorting media dan penggerudukan itu? Please, please,..***

Subscribe to: Post Comments (Atom)